Rabu, 05 November 2014

Inilah takdirku

"Sampai kapan kamu terus menyimpan semuanya sendirian? Kapan kamu akan bilang pada orangtuamu?" tiba-tiba Dhika menanyakan hal itu kepadaku. Memang, beberapa hari belakangan ini banyak hal yang memenuhi kepalaku, salah satunya hal ini. Saat ini aku sudah duduk di kelas tiga dan sudah waktunya menentukan pilihan ke Perguruan Tinggi. Dhika, pacarku sejak kami masuk SMA, dia sudah menentukan keinginannya untuk melanjutkan ke Jurusan Teknik Elektro sesuai dengan kegilaannya dengan hal-hal yang berbau listrik. Dhika akan kuliah di UI, begitu yang selalu dia bilang padaku setiap hari sampai aku bosan. Sedangkan aku, aku belum menentukan kemana aku akan melanjutkan kuliah nanti. Sebenarnya aku sangat berminat pada bidang kedokteran. Jangan ditanya kenapa, sejak aku kecil aku sudah tidak asing lagi dengan bau rumag sakit. Setidaknya sebulan sekali aku menemani Papa untuk bekerja disana sebagai dokter. Begitupun Mamaku, dia dokter kandungan yang hebat, aku sangat mengagumi mamaku.
"Pulang les nanti aku jemput ya Jes?." Aku hanya mengangguk kepada Dhika. Pikiranku menerawang kemana-mana saat ini. Aku sedang bingung sekali. Aku baru menceritakan ini pada Dhika, kalau sebenarnya aku ingin meneruskan kuliah di bidang Keperawatan. Ya, aku sangat menyukai bidang kedokteran tapi itu lebih kepada kesukaanku merawat orang sakit. Itulah alasan terbesarku, selama 3 tahun ini aku tergabung di ekstrakurikuler Palang Merah Remaja.
"Dhika, aku harus bagaimana? Mama dan Papaku sudah menanyakan aplikasi PMDK yang ditawarkan padaku untuk jurusan kedokteran UI" aku kembali meminta sarannya sewaktu pulang les, aku tidak tahu harus bertanya pada siapa lagi, airmatakupun menetes tanpa aku sadari. "Bicaralah sejujurnya Jessica, masa depanmu adalah milikmu. Jangan biarkan masa depanmu hancur karena kamu salah memilih nantinya" Dhika mencoba menenangkanku dengan membelai pipiku dan menghapus air mataku. Baiklah akan kucoba untuk berbicara pada orangtuaku.

"Mama dan Papa belum pulang, Nes?" Aku bertanya pada adikku satu-satunya itu. Sewaktu aku pulang dia sedang di dapur, sejak kecil tempat paling mudah untuk menemukannya adalah di dapur. Dia sangat suka memasak, dan aku ahlinya untuk memakan masakannya. "Belum kak, kakak baru pulang les, ini Agnes lagi buat kue bolu cokelat kesukaan Mama, kakak coba deh enak tidak?." "Hem, enak banget Nes, kamu memang berbakat, mungkin kamu bisa jadi Chef nanti." "Iya ka, cita-citaku memang jadi Chef terkenal." Senyum merekah lebar di wajah Agnes, beruntungnya dia bisa dengan mudah mengucapkan apa yang dia impikan. Seandainya saja aku juga bisa. "Agnes terus perjuangkan cita-cita itu ya, ingat masa depan kamu itu milikmu." Aku bergegas ke kamar untuk mandi dan mengganti pakaian.

Pintu kamarku terbuka, ternyata Mama sudah pulang. Dia menghampiriku dan duduk di samping tempat tidurku. "Mama dengar, kamu belum mengumpulkan aplikasi PMDK ya? Waktunya tinggal sebentar lagi, jangan takut sayang  Mama yakin kami bisa lolos" Mama kemudian tersenyum walaupun aku tahu wajahnya menunjukkan dia lelah. "Ya, Ma, Nanti Jessica kumpulkan besok, tadi masih ad yang kurang" aku tidak bisa, tidak bisa mengatakan yang sesungguhnya. "Mama bangga sama kamu, Nak. Akhirnya anak Mama meneruskan pekerjaan Mama dan Papa. Kamu memang anak baik, ya sudah kamu tidur, besok sekolah kan." Mamapun beranjak pergi dari kamarku. Air mataku keluar deras dari mataku, tanpa suara hanya dalam diam. Aku tidak bisa apa-apa, inilah takdirku. Tidak apa, asal orangtuaku bahagia.

"Kamu yakin, mengumpulkan aplikasi ini Jes? Itu berarti kamu mengubur keinginanku menjadi perawat? Kamu yakin?" tanya Dhika berulangkali kepadaku. Aku hanya diam, diam dan berusaha berdamai pada takdirku. Untuk menjadi seorang dokter dan mengubur impianku selamanya. Kadang aku membenci takdir itu sendiri.

Hari ini pengumuman aplikasi PMDK-ku. Perasaanku tidak karuan, dalam hati kecilku masih menyimpan keinginan menjadi seorang perawat. "Jes! Jes! Lihat kesini, aku diterima di Teknik Elektro Jes, impianku terwujud" Dhika berlari ke arahku dan menunjukkan surat penerimaan dia di UI Jurusan Teknik Elektro. Tiba-tiba aku dipanggil oleh guruku ke dalam ruang guru. Dhika menungguku di luar ruang guru, raut mukanya cemas. Dia tau apa yang akan terjadi. Aku hanya menunjukkan surat penerimaanku di Jurusan Kedokteran UI padanya, tanpa ekspresi apapun. Inilah takdirku.

Aku menolak pulang bersama Dhika, aku ingin mencari udara segar dulu sebelum sampai di rumah. Sebelum aku memberitahu Mama dan Papa kalau aku akan menjadi dokter, sama seperti mereka. Mereka pasti senang, tidak denganku. Telepon genggamku berdering semakin kencang, ternyata Mama. "Bagaimana hasil aplikasi PMDK kamu Nak? Hari ini pengumumannya bukan?" tanya Mama penuh harap. "Iya Ma, aku diterima di jurusan Kedokteran UI Ma" jawabku. "Kamu memang anak Mama, Nak, cepat pulang, Mama akan pulang cepat hari ini ya." Aku tidak mendengar lagi apa yang diucapkan Mama, aku lupa tadi saat menerima telepon aku sedang menyeberang dan sekarang sudah lampu hijau. Aku hanya melihat ada taksi yang melaju kencang ke arahku, lalu aku tidak ingat apa-apa lagi. Gelap, gelap dan di pikiranku terus dipenuhi kata-kata "Ini takdirku". Ya, ini takdirku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar