Rabu, 12 November 2014

Selamat Hari Ayah Nasional, Malaikatku

Hari ini adalah Hari Ayah Nasional, ya 12 November 2014. Kalau begitu izinkan saya sekedar menceritakan sesosok malaikat yang dihadirkan Tuhan untuk menjaga saya, yang selayaknya saya panggil Papa.
Papa menikah dengan Mama dalam umur yang cukup tua, sekitar 30 tahun. Sejak SD, saya tidak begitu dekat dengan sosok papa, maklum papa setiap hari pergi sebelum saya bangun dan pulang sesudah saya tidur. Saya bertemu Papa hanya di weekend saja itupun kalau hari Sabtu tidak diisi dengan kerja. Pernah sekali, Mama, Saya dan Adik berniat memberikan kejutan ulangtahun untuk Papa, semuanya sudah disiapkan, tapi semuanya gagal karena yang saya ingat sampai saya tertidur pulaspun Papa belum pulang juga.
Tapi, kasih sayang Papa buat saya khususnya tidak pernah kurang, akan selalu ada klengkeng kesukaan saya di kulkas, Donal Bebek di hari Selasa dan Bobo di hari Kamis. Seringkali Cerita Rakyat setiap minggunya. Tentu, Papa sangat tau saya sangat suka membaca.
Sampai SMApun saya masih mengalami krisis dimana saya belum merasa dekat dengan Papa. Papa itu sosok yang keras, dan sedikit bicara. Papa juga selalu mengatur apapun yang ada di hidup saya. SMP, SMA, bahkan kuliah.
Semenjak kuliah saya semakin merasakan kedekatan dengan Papa. Papa yang selalu menelpon saya saat di Bogor, bahkan pernah sekali saya menelpon Papa hanya untuk menangis sejenak. Kalian pasti mengira, dimana bagian istimewanya Ayah saya.
Ini adalah titik dimana saya rasanya ingin menggantikan posisi ayah saya saat itu.

7 November 2013

Hari itu saya bangun telat, padahal hari ini hari ulangtahun pimpinan cabang saya. Otomatis saya harus secepatnya sampai di kantor, papapun mengantarkan menggunakan motor.
Entah apa yang terjadi, di depan Mall Taman Anggrek, ada motor yang jatuh di depan kami, papa hilang keseimbangan sampai menjatuhkan diri ke aspal. Saya hilang kesadaran sebentar, sampai akhirnya di depan saya, tergeletak sosok lelaki yang berlumuran darah, itu papa saya.
Saya berteriak ke orang-orang berusaha membopong papa sendirian tapi tidak kuat. Saya berlari kesana kemari di jalan raya, mencoba menghalang taksi agar mau berhenti, tidak peduli apapun yang penting papa cepat ke rumah sakit. Setelah di dalam taksi saya melihat muka papa hancur penuh dengan darah, saya menangis dan meraung. Saya sempat bertanya pada papa 'Ini angka berapa Pa? Kalau ini' untungnya papa menjawab benar. Bayangkan saja, papa sudah tidak dapat melihat dengan mata kirinya karena kecelakaan sewaktu bujangan, kalau sebelah kanan juga jadi tidak bisa melihat mungkin lebih baik saya mati saat itu juga.
Apa kalian tau apa kata pertama yang diucapkan papa saat di taksi? 'Feby gapapa? Kepalanya berdarah itu, pusing ga?' Papa bertanya dalam keadaan muka hancur penuh darah.
Sesampainya di rumah sakit terdekat, papa langsung ditangani dokter. Saya langsung membayar semua penanganan buat Papa, tidak peduli dengan saya. Saat itu, uang saya hanya cukup untuk papa saja. Penanganan saya biar menunggu Mama nanti sesudah datang. Saya terpisah ruangan dengan papa, saya menangis melihat keadaannya. Saya tidak peduli saat itu mati kehabisan darah dari kepala saya yang bocor. Sayapun dipaksa istirahat oleh dokter. Disamping papa terus menanyakan pada dokter 'Dok, anak saya kepalanya berdarah, tolong diselametin dok, anak saya baik-baik aja kan dok, dimana dia dok?' Dokter sampai memarahi papa saat itu 'Pak, yang parah itu Bapak, anak Bapak baik-baik aja, gausah cemas.'
Saya bisa apa selain menangis saat itu?

Sampai Hari Ayah Nasional tahun kemarinpun saya hanya bisa memberikan penderitaan buat papa. Ya, papa harus operasi penanaman pen permanen di rahang dan pen non permanen di tangan. Saya? Selain luka 2 jahitan, badan saya cuma luka di tangan dan kaki. Selama di rumah sakit, papa juga sering bandel dengan pergi ke kamar saya, katanya mau liat anak gadisnya. Papa juga seringkali bertanya pada mama, apa luka saya bisa hilang bekasnya yang di tangan, coba dicarikan obat paling bagus, supaya anak gadis papa ga cacat katanya, biar tetap cantik. Aku yang cantik nanti memang pah, papa? dengan dua pen di badan papa :')

Sampai sekarang, papa seperti malaikat buatku. Penjagaku, aku tau sejak kecil aku dijaga melebihi yang lain, aku tau.
Alhamdulillah tahun ini aku bisa mengucapkan selamat hari ayah dengan keadaan papa sehat. Karena, sampai kapanpun aku berhutang banyak sama papa dan ga akan bisa aku bayar sampai aku matipun. Terimakasih sudah menjadi Lelaki paling hebat di hidupku, penjaga paling siaga buatku, seandainyapun nanti aku mencari pasangan hidup, aku ingin ang seperti papa. Tapi tentu, papa tetap nomor satu di hidup aku, takkan tergantikan oleh siapapun. Selamat Hari Ayah ya Pah, I love you more than anyone. Thankyou for being my superhero until now. I love you, i love you, i love you :*

Kamis, 06 November 2014

Hadiah dari Tuhan

Changi Airport, 23.30.

"Tuh kan, kita berdua ketinggalan pesawat. Aarggh terus bagaimana ini? Kamu lama banget sih tadi di toilet" Rama marah di depanku, aku sampai takut melihat wajahnya. Kami baru saja hendak pulang ke Jakarta setelah menghabiskan liburan bersama teman-teman yang lainnya di Singapura. "Tidak ada pilihan lain Ram, ki.. kita menginap saja dulu disini sampai penerbangan paling pagi" aku berusaha menenangkan Rama, setidaknya membuatnya tidak marah lagi. Akhirnya mau tidak mau Rama mengiyakan saranku, kami mencari tempat duduk kosong yang nyaman untuk bermalam. 
"Maafkan aku ya, karena aku kita ketinggalan rombongan. Seharusnya aku ke kamar mandi sendiri tadi" aku sangat merasa bersalah, kalau saja aku tidak meminta tolong pada Rama, pasti yang tertinggal hanya aku sendiri sekarang. "Ya, mau bagaimana lagi Ni, mungkin takdir kita bermalam disini. Untung kamu tertinggal pesawatnya sama aku, coba kalau kamu sendiri bermalam di bandara ini. Aku saja tidak bisa membayangkannya."
Semakin malam, rasanya semakin sunyi. Tapi entah kenapa, dadaku terasa gaduh sekali. Hatiku terus berdebar mengingat saat ini aku cuma berdua dengan Rama di bandara ini. Berdua dengan orang yang sudah singgah dan menetap selama dua tahun belakangan ini di hatiku. Tanpa seorang dan duniapun tahu, kecuali aku. Perlahan aku rebahkan kepalaku ke pundaknya. Ini tempat ternyaman yang pernah ada. Entah kesialan atau keberuntungan bagiku saat ini. Satu yang aku tahu, aku berharap waktu berhenti dan tidak ada lagi esok hari. Biarlah aku dan perasaanku selalu abadi bersama momen ini. Mungkin bagi Rama ini kesialan, tapi bagiku ini adalah hadiah dari Tuhan.

Tulisan ini diikutsertakan pada Give Away Pesta Flash Fiction NBC IPB. Tulisan berisi 250 kata diluar judul.

Rabu, 05 November 2014

Inilah takdirku

"Sampai kapan kamu terus menyimpan semuanya sendirian? Kapan kamu akan bilang pada orangtuamu?" tiba-tiba Dhika menanyakan hal itu kepadaku. Memang, beberapa hari belakangan ini banyak hal yang memenuhi kepalaku, salah satunya hal ini. Saat ini aku sudah duduk di kelas tiga dan sudah waktunya menentukan pilihan ke Perguruan Tinggi. Dhika, pacarku sejak kami masuk SMA, dia sudah menentukan keinginannya untuk melanjutkan ke Jurusan Teknik Elektro sesuai dengan kegilaannya dengan hal-hal yang berbau listrik. Dhika akan kuliah di UI, begitu yang selalu dia bilang padaku setiap hari sampai aku bosan. Sedangkan aku, aku belum menentukan kemana aku akan melanjutkan kuliah nanti. Sebenarnya aku sangat berminat pada bidang kedokteran. Jangan ditanya kenapa, sejak aku kecil aku sudah tidak asing lagi dengan bau rumag sakit. Setidaknya sebulan sekali aku menemani Papa untuk bekerja disana sebagai dokter. Begitupun Mamaku, dia dokter kandungan yang hebat, aku sangat mengagumi mamaku.
"Pulang les nanti aku jemput ya Jes?." Aku hanya mengangguk kepada Dhika. Pikiranku menerawang kemana-mana saat ini. Aku sedang bingung sekali. Aku baru menceritakan ini pada Dhika, kalau sebenarnya aku ingin meneruskan kuliah di bidang Keperawatan. Ya, aku sangat menyukai bidang kedokteran tapi itu lebih kepada kesukaanku merawat orang sakit. Itulah alasan terbesarku, selama 3 tahun ini aku tergabung di ekstrakurikuler Palang Merah Remaja.
"Dhika, aku harus bagaimana? Mama dan Papaku sudah menanyakan aplikasi PMDK yang ditawarkan padaku untuk jurusan kedokteran UI" aku kembali meminta sarannya sewaktu pulang les, aku tidak tahu harus bertanya pada siapa lagi, airmatakupun menetes tanpa aku sadari. "Bicaralah sejujurnya Jessica, masa depanmu adalah milikmu. Jangan biarkan masa depanmu hancur karena kamu salah memilih nantinya" Dhika mencoba menenangkanku dengan membelai pipiku dan menghapus air mataku. Baiklah akan kucoba untuk berbicara pada orangtuaku.

"Mama dan Papa belum pulang, Nes?" Aku bertanya pada adikku satu-satunya itu. Sewaktu aku pulang dia sedang di dapur, sejak kecil tempat paling mudah untuk menemukannya adalah di dapur. Dia sangat suka memasak, dan aku ahlinya untuk memakan masakannya. "Belum kak, kakak baru pulang les, ini Agnes lagi buat kue bolu cokelat kesukaan Mama, kakak coba deh enak tidak?." "Hem, enak banget Nes, kamu memang berbakat, mungkin kamu bisa jadi Chef nanti." "Iya ka, cita-citaku memang jadi Chef terkenal." Senyum merekah lebar di wajah Agnes, beruntungnya dia bisa dengan mudah mengucapkan apa yang dia impikan. Seandainya saja aku juga bisa. "Agnes terus perjuangkan cita-cita itu ya, ingat masa depan kamu itu milikmu." Aku bergegas ke kamar untuk mandi dan mengganti pakaian.

Pintu kamarku terbuka, ternyata Mama sudah pulang. Dia menghampiriku dan duduk di samping tempat tidurku. "Mama dengar, kamu belum mengumpulkan aplikasi PMDK ya? Waktunya tinggal sebentar lagi, jangan takut sayang  Mama yakin kami bisa lolos" Mama kemudian tersenyum walaupun aku tahu wajahnya menunjukkan dia lelah. "Ya, Ma, Nanti Jessica kumpulkan besok, tadi masih ad yang kurang" aku tidak bisa, tidak bisa mengatakan yang sesungguhnya. "Mama bangga sama kamu, Nak. Akhirnya anak Mama meneruskan pekerjaan Mama dan Papa. Kamu memang anak baik, ya sudah kamu tidur, besok sekolah kan." Mamapun beranjak pergi dari kamarku. Air mataku keluar deras dari mataku, tanpa suara hanya dalam diam. Aku tidak bisa apa-apa, inilah takdirku. Tidak apa, asal orangtuaku bahagia.

"Kamu yakin, mengumpulkan aplikasi ini Jes? Itu berarti kamu mengubur keinginanku menjadi perawat? Kamu yakin?" tanya Dhika berulangkali kepadaku. Aku hanya diam, diam dan berusaha berdamai pada takdirku. Untuk menjadi seorang dokter dan mengubur impianku selamanya. Kadang aku membenci takdir itu sendiri.

Hari ini pengumuman aplikasi PMDK-ku. Perasaanku tidak karuan, dalam hati kecilku masih menyimpan keinginan menjadi seorang perawat. "Jes! Jes! Lihat kesini, aku diterima di Teknik Elektro Jes, impianku terwujud" Dhika berlari ke arahku dan menunjukkan surat penerimaan dia di UI Jurusan Teknik Elektro. Tiba-tiba aku dipanggil oleh guruku ke dalam ruang guru. Dhika menungguku di luar ruang guru, raut mukanya cemas. Dia tau apa yang akan terjadi. Aku hanya menunjukkan surat penerimaanku di Jurusan Kedokteran UI padanya, tanpa ekspresi apapun. Inilah takdirku.

Aku menolak pulang bersama Dhika, aku ingin mencari udara segar dulu sebelum sampai di rumah. Sebelum aku memberitahu Mama dan Papa kalau aku akan menjadi dokter, sama seperti mereka. Mereka pasti senang, tidak denganku. Telepon genggamku berdering semakin kencang, ternyata Mama. "Bagaimana hasil aplikasi PMDK kamu Nak? Hari ini pengumumannya bukan?" tanya Mama penuh harap. "Iya Ma, aku diterima di jurusan Kedokteran UI Ma" jawabku. "Kamu memang anak Mama, Nak, cepat pulang, Mama akan pulang cepat hari ini ya." Aku tidak mendengar lagi apa yang diucapkan Mama, aku lupa tadi saat menerima telepon aku sedang menyeberang dan sekarang sudah lampu hijau. Aku hanya melihat ada taksi yang melaju kencang ke arahku, lalu aku tidak ingat apa-apa lagi. Gelap, gelap dan di pikiranku terus dipenuhi kata-kata "Ini takdirku". Ya, ini takdirku.